Misteri Cuaca Di Atmosfir Indonesia: Inter-Tropical Convergence Zone

Inter-Tropical Convergence Zone, Misteri Cuaca Di Atmosfir Indonesia

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d7/ITCZ_january-july.png/640px-ITCZ_january-july.png

ITCZ bergerak lebih jauh dari garis khatulistiwa selama musim panas di belahan Bumi Utara dibanding Bumi Selatan karena terdapatnya daratan / benua yang luas di belahan Bumi Utara dibanding Bumi Selatan. (wikimedia)

Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT) atau The Intertropical Convergence Zone (ITCZ) adalah daerah yang mengelilingi bumi di dekat khatulistiwa dimana angin timur-laut dan tenggara bertiup, termasuk di Indonesia.

ITCZ pada awalnya diidentifikasi dari tahun 1920-an sampai 1940-an sebagai “Front Intertropis” (ITF), namun setelah pengakuan pada tahun 1940-an dan 1950-an, pentingnya konvergensi lapangan terhadap angin dalam produksi cuaca tropis, istilah “ITCZ” kemudian diterapkan.

Ketika terletak di dekat khatulistiwa, fenomena itu disebut near-equatorial trough atau celah dekat khatulistiwa, dimana Daerah Konvergensi Antar Tropik (ITCZ) tertarik dan bergabung dengan sirkulasi monsun (angin musim), yang kadang-kadang disebut sebagai celah angin musiman (monsoon trough), yang penggunaan lebih umum terjadi di Australia dan sebagian Asia.

Arti posisi musiman Zona Konvergensi Intertropis pada bulan Agustus (musim panas boreal utara) dan Februari (musim panas Australia). Garis putus-putus menunjukkan zona konvergensi tropis sekunder. Singkatannya adalah SPCA (Southern Pacific Convergence Area) yaitu Zona Konvergensi Pasifik Selatan, SITCZ (Southern ITCZ) yaitu ITCZ Selatan, SACZ (South American Convergence Zone) yaitu zona konvergensi Amerika Selatan, dan IOCZ (Indian Ocean Convergence Zone) yaitu Zona Konvergensi Samudera Hindia. (weatherwise.org)

Dalam dunia pelaut, zona tersebut disebut sebagai “doldrums’ atau “angin mati” atau “mati angin” karena pola cuaca yang tidak menentu dengan hujan yang stagnan dan badai petir yang dahsyat.

“Doldrums’ atau “angin mati” adalah daerah yang bertekanan udara rendah di sekitar khatulistiwa. Daerah ini merupakan tempat dimana udara panas selalu naik dan agak jarang terjadi angin.

Di daerah “doldrums’ atau “angin mati” ini, terjadi pertemuan antara Angin Pasat (angin  yang berhembus ke atas) dengan angin dari belahan bumi utara atau dari belahan bumi selatan.

Di daerah “doldrums’, akan bertemu angin pasat dari timur laut (angin yang berhembus ke atas di belahan bumi utara) dan angin pasat tenggara (angin yang berhembus ke atas di belahan bumi selatan). Daerah pertemuan tersebut terletak di 10 derajat Lintang Utara hingga 10 derajat Lintang Selatan.

Penampakan penampang tropis yang ideal di bulan Juli, menunjukkan aliran angin dan struktur lapisan awan. Di atas lautan, “sabuk hujan” sering ditempatkan bersama dengan ITCZ dan curah hujan lebih lemah, tetapi di atas benua angin dan batasannya lebih lemah dan tidak jelas serta curah hujan lebih tinggi. Arti singkatan-singkatan adalah, Cb=Cumulonimbus; Ci=Cirrus; Ac=Altocumulus; As=Altostratus; Cu=Cumulus; dan Sc= Stratocumulus. Panah angin warna biru menunjukkan udara kering yang relatif sejuk datang dari belahan bumi yang mengalami musim dingin. (weatherwise.org)

Daratan dekat garis Khatulistiwa bebas dari Topan dan Badai

Daerah “angin mati” ini kadang disebut juga sebagai “zona massa udara tenang” atau Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT). Daerah ini letaknya tidak tetap, dapat bergeser ke utara dan selatan mengikuti gerak matahari yang kadang berada di belahan utara atau di belahan selatan khatulistiwa. Akan tetapi pergeseran tersebut hanya sebatas wilayah 10 LU-100 LS.

Pertemuan antara angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara di garis khatulistiwa yang panas, maka menyebabkan udara terangkat ke atas. Setelah udara panas yang dibawa angin itu terangkat ke lapisan atas atmosfir, maka ia menjadi dingin. Karena udara dingin lebih berat daripada udara panas yang ringan, maka udara yang sudah dingin tadi akan kembali turun ke bawah lapisan atmosfir.

Namun karena angin pasat panas yang tepat barada di garis khatulistiwa secara terus-menerus naik ke lapisan atas atmosfir bagaikan “sungai angin” yang dialiri udara panas, maka udara yang telah dingin di atas udara panas di atmosfir tepat di lapisan atas khatulistiwa tadi, tak bisa turun melawan arah melalui celah “sungai angin” yang mengalir dari bawah ke atas.

Rekam jejak siklon tropis global antara tahun 1985 – 2005, menunjukkan area di mana siklon tropis biasanya terjadi dan berkembang. Tampak wilayah Indonesia yang berada di garis khatulistiwa nyaris tak tersentuh siklon tropis global.

Maka angin dingin di atas atmosfir yang berada tepat disepanjng khatulistiwa, akan mengalir ke utara dan selatan dari garis khatulistiwa, kemudian ia turun di wilayah tersebut.

Jika di daerah kepulauan Indonesia, wilayah-wilayah tempat angin dingin itu turun, di belahan Bumi utara berada di sepanjang kepulauan Filipina, Taiwan, Vietnam dan di sepanjang lintang itu.

Sedangkan di belahan Bumi selatan berada di sepanjang Samudera Hindia di selatan Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara hingga di utara benua Australia.

Setelah udara panas naik menjadi dingin dan kemudian turun kembali di wilayah-wilayah tersebut, kemudian bercampur dengan udara panas yang masih berada di lapisan bawah, ditambah uap air dari laut dan samudera, maka menghasilkan badai konvektif.

Jadi bisa dikatakan badai yang terjadi di daerah Indonesia bisa dibilang nyaris tidak ada, namun di wilayah selatan Indonesia yaitu di Samudera Hindia dan di Utara Australia badai banyak ditemukan, sedangkan di Nusa Tenggara, Bali, Pulau Jawa dan Sumatera, bebas badai.

Badai juga banyak ditemukan di wilayah utara Indonesia, yaitu di utara Kepulauan Natuna, seperti di sepanjang kepulauan Filipina, Taiwan, Vietnam badai banyak ditemukan, sedangkan di Pulau Papua, Maluku, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, bebas badai.

Jadi bisa dibayangkan, betapa untungnya wilayah Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa yang mana justru tak terdapat badai,  siklon atau topan.

Kecuali lautan, tampak tidak ada badai di daratan sekitar garis khatulistiwa/equator nol derajat (garis kuning) termasuk di kepulauan Indonesia (di sebelah kanan).

Efek di daerah  Khatulistiwa

Walau bebas dari topan dan badai, namun adanya badai yang terdapat di utara dan di selatan Indonesia dapat mempengaruhi wilayah Nusantara secara signifikan dalam hal lainnya, seperti tingginya curah hujan hingga terjadi banjir, minimnya curah hujan hingga terjadi kekeringan, dan kencangnya angin, hingga tingginya ombak.

Badai biasanya terjadi di sepanjang garis selatan ekuator di lautan Hindia (Selatan Indonesia), lautan barat Pasifik (utara Papua dan Maluku), hingga lepas pantai Afrika dan Amerika Tengah. Para awak kapal takut berlayar di daerah tersebut karena kapal mereka sering berhenti di sana karena tak mampu menembuas badai.

Hal lain dari dampak peralihan musim dari musim panas ke musim hujan atau sebaliknya, juga akan membuat wilayah Indonesia menjadi lebih “tak terduga” iklimnya secara cepat.

Misal udara cerah tiba-tiba mendung dan hujan, atau sebaliknya, juga terjadinya tornado secara mendadak akibat perbedaan suhu yang tiba-tiba bertemu dan membuat pusaran angin yang bisa dibilang “kecil” yaitu tornado, cucunya badai.

Indonesia sudah dipercaya untuk memantau siklon tropis, badai dan topan

Perlu juga diketahui bahwa sejak tahun 2008 silam, Indonesia sudah mendapat izin untuk memantau topan dan badai di bagian utara dan khususnya yang ada di selatan Indonesia, setelah terbentuknya the Regional Disaster Management Agency (BPBD) dan Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis (Tropic Siclon Warning Center/TSWC) di Jakarta.

Pada tahun sebelum 2008, Indonesia belum bisa dipercaya untuk dapat memantau siklon (cyclone), topan (typoon) dan badai (hurricane), bukan karena sumber daya manusianya, tapi dari peralatannya yang masih tua dan tidak mempuni.

Akibat tak mampunya peralatan yang dimiliki Indonesia pada masa lalu, maka pihak internasional tidak mempercayai dengan tidak mengizinkan Indonesia untuk dapat memantau angin siklon tropis, topan dan badai.

Dengan diizinkannya dan dipercayanya Indonesia sebagai pemantau angin siklon, topan dan badai, maka Indonesia juga memiliki hak untuk memberi nama pada siklon yang akan atau sedang terjadi.

Tampak badai siklon tropis “Cempaka” dan “Dahlia” pada bulan November 2017 silam.

Penamaan Badai Siklon Tropis

Seperti yang terdapat di belahan dunia lain, penamaan angin siklon, topan dan badai, walau tak selalu, namun lebih cenderung dan biasanya berdasarkan abjad, berurutan dari A hingga Z.

Tapi jika tak terdapat awal abjad, misal dari W ke “X” yang tak ada penamaannya karena sulit didapat, maka penaman akan loncat atau skip ke Y. Dan jika sampai Z masih ada siklon lain dan penamaan tak cukup, maka balik lagi ke A, begitu seterusnya.

Namun biasanya penamaan siklon, topan dan badai (yang dalam bahasa Inggris disebut Hurricane) di daerah masing-masing berdasarkan nama panggilan orang setempat yang terdengar akrab di wilayah itu, dan menjadi ciri khas di kawasan yang terkait pula.

Tampak awan cumulonimbus yang tebal di atas semua pulau terbentuk di Inter-Tropical Convergence Zone.

Contoh seperti di Amerika Serikat bagian timur atau di Samudra Atlantik, misalnya penamaan angin siklon di tahun 2017 lalu yaitu Arlene, Bret, Cindy, Don, Emily, Franklin, Gert, Harvey, Irma, Jose, Katia, Lee, Maria dan seterusnya.

Karena namanya memakai nama panggilan orang setempat dan masih ada nama panggilan lainnya, maka tiap tahun biasanya namanya diganti dengan nama baru. Bagitu pula di beberapa bagian wilayah lain di dunia.

Rekam jejak atau jalur dari Tropical Cyclone 96S/Dahlia

Sementara di Samudra Pasifik timur contoh namanya adalah Aletta, Bud, Carlotta, Daniel, Emilia, Fabio, Gilma, Hector, Ileana, John, Kristy, dan seterusnya.

Di Pasifik bagian tengah contoh namanya adalah Akoni, Ema, Hone, Iona, Keli, Lala, Moke, dan seterusnya.

Di Samudra Pasifik barat namanya kadang tak beraturan seperti abjad, contoh namanya adalah Doksuri, Khanun, Vicente, Saola, Damrey, Haikui, Kirogi, Kai-Tak, Tembin, dan lainnya.

Di Samudra Hindia bagian utara namanya kadang jugs tak beraturan seperti abjad, contoh namanya adalah Murjan, Nilam, Mahasen, Phailin, Helen, Leher, Madi, Na−nauk, dan lainnya.

Di Samudra Hindia bagian Barat-daya contoh namanya adalah Anais, Boldwin, Claudia, Dumile, Emang, Felleng, Gino, Haruna, Imelda, Jamala, Kachay, Luciano, Mariam, dan seterusnya.

Loop dari satelit: Siklon Tropis “Dahlia” 30 Nov. 2017. Kecepatan angin saat itu 40 knot / MPH. Diprediksi kecepatan angin maksimal 60 knot / MPH pada hari Sabtu, 02 Des. 2017 pukul 1:00 PM.

Siklon tropis di Australia awalnya terbagi dua wilayah bagian, yaitu daerah Australia dan Papua New Guinea. Kemudian setelah Indonesia sudah memiliki wewenang, maka Indonesia masuk bagian dari Siklon Australia, yang tadinya hanya dua wilayah.

Kemudian dua wilayah itu akhirnya dibagi dalam 3 daerah regional, yaitu Australia, Indonesia dan Papua New Guinea. Penamaan siklon tergantung dari wilayah atau dari daerah awal dimama siklon tropis itu awalnya terbentuk.

Di Australia, namanya seperti abjad, contoh namanya adalah Mitchell, Narelle, Oswald, Peta, Rusty, Sandra, Tim, Victoria, Zane, dan lainnya.

Di Papua New Guinea contoh namanya adalah Alu, Buri, Dodo, Emau, Fere, Hibu, Ila, Kama, Lobu, Maila, dan seterusnya.

Indonesia juga sudah memiliki hak untuk menamakan siklon dengan “nama khas panggilan di Indonesia”, dan biasanya adalah selalu penamaan bunga-bungaan, yaitu Anggrek, Bakung, Cempaka, Dahlia, Flamboyan, Kenanga, Lili, Mawar, Seroja, Teratai dan seterusnya.

Nama bunga ini disepakati dalam penamaan badai tropis di Indonesia sejak terbentuknya pusat peringatan dini siklon tropis (Tropic Siclon Warning Center/TSWC) di Jakarta pada 2008. Nama itu diberikan untuk menghargai orang Indonesia yang menemukan nama-nama badai siklon, memang disepakati nama bunga.  (©IndoCropCircles.com)

Pustaka:


Intertropical convergence zone (ITCZ), also called equatorial convergence zone, belt of converging trade winds and rising air that encircles the Earth near the Equator. The rising air produces high cloudiness, frequent thunderstorms, and heavy rainfall; the doldrums, oceanic regions of calm surface air, occur within the zone. The ITCZ shifts north and south seasonally with the Sun. Over the Indian Ocean, it undergoes especially large seasonal shifts of 40°–45° of latitude.


VIDEO:

Intertropical Convergence Zone: How it works

Intertropical Convergence Zone – Video Learning

HOW DO HURRICANES FORM?

Air Asia Flight 8501 Disaster over Indonesia


Artikel Lainnya:

Waduh! Gumpalan Misterius di Samudra Pasifik Ini Bisa Datangkan Malapetaka Bagi Bumi

Misteri Penamaan Gunung Es “Sourabaya” Di Kepulauan Dekat Antartika

HAARP Senjata Canggih, Mengatur Pikiran, Gempa dan Iklim Dunia! Termasuk Gempa dan Tsunami di Indonesia!

Pole Shifts: Kutub Utara dan Selatan Sedang Berpindah Akibatkan Anomali Cuaca

Anomali Magnetik Terkuat Dunia Di Benua Afrika dan Russia Yang Misterius!

[Project Seal] Tsunami Aceh Sumatra 2004: Bom Nuklir Bawah Laut

Penakluk Kutub Selatan: Ekspedisi Amundsen 1911

Fenomena Misterius: Pancaran Sinar Yang Bergerak Di Atas Awan

10 Fenomena Misterius di Lautan

[True Story] Andrea Gail, Kapal Nelayan Yang Karam di Film “The Perfect Storm”

Inilah Bangkai Kapal “San Jose” Dengan Harta Karun Senilai Rp. 13 Trilyun!

“Frankenstorm” Sandy Sisakan Berton-ton Salju & Sampah

Misteri Segitiga Masalembo, Segitiga Bermudanya Indonesia

Penyelidikan Terbaru: Misteri Segitiga Bermuda


Misteri Cuaca Di Atmosfir Indonesia: Inter-Tropical Convergence Zone

((( IndoCropCircles.com | fb.com/IndoCropCirclesOfficial )))

Pos ini dipublikasikan di Fenomena Alami dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.